Sabtu, 03 Agustus 2013

MERAYAKAN LEBARAN



MERAYAKAN LEBARAN
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu
dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Ali-‘Imran [3]: 133)



Awal Ramadhan lalu, teman saya pernah melontarkan lelucon begini: bedanya “sepuluh malam pertama” dan “sepuluh malam terakhir” Ramadhan terletak pada tempat sasaran masyarakat. Jika sepuluh malam pertama adalah masjid yang dipenuhi jamaah, maka di sepuluh malam terakhir pasar tradisional dan mal-mal yang penuh sesak oleh “jamaah” pembeli pakaian Lebaran.
Lelucon ini memang ada benarnya. Jika tak percaya, coba perhatikan suasana tarawih menjelang Lebaran, lalu bandingkan dengan suasana di pasar dan mal-mal. Berbeda jauh. Di masjid, shaf yang semula tumpah ruah hingga ke pelataran masjid, namun menginjak detik-detik akhir Ramadhan hanya tersisa dua-tiga shaf di belakang imam. Mereka pindah ke pasar tradisional dan mal-mal. Mereka rela antre guna mempersiapkan beragam kebutuhan Lebaran: ragam makanan Lebaran, pakaian dan aksesorisnya, hingga barang-barang elektronik yang biasanya serba baru. Lainnya, sibuk berkemas mudik ke kampung halaman.
Khusus di Indonesia, seperti biasanya Lebaran menjadi hajatan besar tahunan negeri berpenduduk mayoritas muslim ini. Demi merayakannya, setiap orang bersibuk-sibuk ria mempersiapkan segala sesuatunya: aneka menu Lebaran, pakaian, perabot rumah tangga, bahkan penampilan yang serba baru. Juga tak lupa persiapan uang recehan untuk hadiah sanak famili di kampung halaman. Lebaran pun disambut dengan penuh kegembiraan.
Lantas, apa yang begitu tampak dari tradisi Lebaran kini? Tidak hanya sebuah tradisi religius, momentum hari suka cita bagi setiap muslim, tapi juga cermin budaya konsumerisme –yang biasanya selalu terkait dengan sikap mubazir– kita yang meninggi, yang justru ingin diminimalisir melalui ibadah puasa. Meminjam bahasa iklan, sepertinya “sudah tradisi” jika demi menyambut Lebaran, kadang sebagian kita tak segan-segan membeli barang-barang baru demi pemenuhan kebutuhan yang kadang artifisial itu: sikap yang berlebih-lebihan.
Jika puasa yang baru saja lewat itu diyakini menjadi bulan untuk melatih diri menahan hawa nafsu, mengapa tradisi lebaran memberi fakta yang sebaliknya? Lalu, masihkah kita yakin puasa kali ini punya hasil konkret mengubah hidup kita? Jangan-jangan suka cita kita merayakan Lebaran bukan karena telah meraih kemenangan, tapi karena merasa sudah terbebas dari ‘belenggu’ Ramadhan? Na’udzubillah!
Kembali Fitrah Setelah Puasa
Ramadhan telah berlalu. Bulan yang penuh berkah, rahmat, dan ampunan itu telah meninggalkan kita. Pintu-pintu neraka dibuka kembali. Setan-setan pun dilepaskan dari belenggunya. Seiring dengan itu, kemuliaan-kemuliaan pahala amalan yang berlipat ganda dicabut kembali. Masalahnya, apakah kita telah kembali fitrah setelah berpuasa sebulan penuh? Pertanyaan ini bukan sekedar retoris belaka. Pertanyaan tersebut sejatinya adalah refleksi dari puasa yang telah kita tunaikan. Ada kemungkinan di antara kita ada yang tidak lulus dalam ujian di Madrasah Ramadhan itu, sebagaimana disinyalir dalam sabda Rasulullah SAW:
Berapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak didapatkan dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga. Dan berapa banyak orang yang shalat malam, namun hasil yang diperolehnya hanyalah berjaga malam.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Thabrani)
Sejatinya, orang yang menunaikan puasa secara benar selama bulan Ramadhan akan terlahir kembali seperti bayi yang tidak berdosa. Kembali pada fitrahnya. Hal itu karena Allah SWT mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu; ia keluar dari dosanya seperti hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya. Dari sinilah, barangkali, kita sering mendengar orang saling mengucapkan: “Minal ‘aidin wal faidzin.” Semoga kita termasuk orang-orang yang dikembalikan oleh Allah (pada posisi nol) dan orang-orang yang beruntung.
Puasa Ramadhan dan serangkaian aktivitas Ramadhan sebenarnya telah mengondisikan dan melatih kita untuk menyadari dan memahami fitrah kita. Kita sudah dikondisikan dan dilatih untuk menetapi fitrah. Ramadhan itu telah menjadi ajang untuk menempa diri dan melebur dosa yang mengharuskan seorang muslim lebih merasakan dan memahami fitrahnya. Fitrah itu akan berkembang dan menjadikan dirinya selalu siap menerima kebenaran. Puasa akan menjadikan ia lebih merasakan dan memahami dirinya sebagai makhluk yang diliputi keserbalemahan dan keterbatasan. Dengan begitu, ia akan lebih merasa membutuhkan Penciptanya dan membutuhkan petunjuk dari-Nya. Maha Benar Allah dalam firman-Nya:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama (Allah): (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Tidak ada perubahan pada fitrah allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Ruum [30]: 30)
Dalam Tafsir al-Qurthubi jilid XIV, Imam al-Qurthubi mengutip gurunya, Abu Abbas, menyatakan ayat tersebut mengungkapkan bahwa Allah SWT telah menciptakan kalbu (akal) anak Adam siap sedia menerima kebenaran sebagaimana mata diciptakan siap untuk melihat dan telinga siap untuk mendengar. Selama kalbu anak Adam tetap dalam fitrahnya itu, maka ia akan mengenali kebenaran.
Sementara menurut Ibn al-Atsir, fitrah itu tidak lain adalah karakteristik penciptaan manusia dan potensi kemanusiaan yang siap untuk menerima agama. Karena itu, Imam Zamakhsyari mengatakan bahwa fitrah itu menjadikan manusia siap sedia setiap saat menerima kebenaran dengan penuh sukarela, tanpa paksaan, alami, wajar, dan tanpa beban. Dengan demikian, kembali pada fitrah adalah dengan menjalankan perintah Sang Khaliq dengan menetapi fitrah, yakni menetapi karakteristik penciptaan manusia dan potensi insaniah untuk siap menerima kebenaran. Jadi, kembali pada fitrah tidak lain adalah dengan terus mengembangkan potensi manusia untuk selalu siap setiap saat menerima kebenaran.
Agar Lebaran Lebih Bermakna
Segera setelah azan Maghrib berkumandang di malam Lebaran, gemuruh takbir terdengar di. Tanda hari kemenangan telah tiba. Wajah-wajah yang terseok kelelahan segera berganti dengan mata yang berbinar-binar karena kembali ke kampung halaman. Tradisi yang istimewa di negeri ini, Lebaran dijadikan sebagai hari khusus silaturahim: halal bihalal. Setiap rumah (juga hati) terbuka lebar. Sanak famili, karib kerabat, tetangga, dan kenalan saling mengunjungi. Orang-orang yang berpas-pasan mengobral senyum. Mereka bersalaman. Juga istimewa, banyaknya orang yang berziarah ke kuburan; lalu menabur bunga dan mengucapkan doa sebisanya. Begitulah warna-warni Lebaran. Namun, ada hal penting yang patut diperhatikan: mungkinkah kita bisa menjadikan Lebaran lebih bermakna?
“Idul Fitri bukanlah diperuntukkan bagi orang yang mengenakan sesuatu yang serba baru, tetapi dipersembahkan bagi orang yang ketaatannya bertambah.” Begitu pepatah Arab menyebutkan. Mahasuci Allah yang telah mensyariatkan Hari Raya Idul Fitri sebagai hari penuh kebahagiaan. Wajar jika kita bergembira pada hari raya tersebut. Namun, kegembiraan itu bukan karena pesta atau hiburan. Bukan pula karena telah bebas dari kungkungan puasa. Kegembiraan itu tidak lain karena kita telah berhasil menunaikan salah satu kewajiban dan bersiap untuk menunaikan kewajiban-kewajiban lainnya.
Dalam Al-Baqarah ayat 183, Allah telah menegaskan bahwa orang yang menunaikan puasa dengan benar sejatinya menjadi orang yang bertakwa, yakni orang yang memelihara dirinya dari kemaksiatan sebab puasa itu mematahkan syahwat sebagai pangkal kemaksiatan. Karena itu, Lebaran harus dipandang sebagai kelahiran kembali orang-orang yang mendapatkan ampunan dari Dia Yang Maha Pengampun dan menjelma menjadi orang yang bertakwa. Lebaran bukanlah akhir dari ketaatan, melainkan awal dari ketaatan baru. Makanya, lebaran akan terasa lebih bermakna hanya jika kita menampakkan ketakwaan tersebut dalam aktivitas sehari-hari. Tanpa ketakwaan, Lebaran hanyalah sebuah kehampaan.
Bentuk aktivitas yang lahir dari ketakwaan dan akan menjadikan Lebaran lebih bermakna adalah menjadi lebih taat kepada Allah ‘Azza wa jalla. “Celakalah orang yang hari ini lebih buruk daripada hari kemarin,” begitu sabda Nabi SAW. Sebaliknya, beruntunglah orang yang hari ini lebih baik daripada hari kemarin. Karena itu, orang yang memahami hal ini akan menjadi lebih taat dengan ketakwaan yang baru setelah Ramadhan untuk meraih ampunan dan surga-Nya dengan memelihara amalan-amalan rutin Ramadhan, seperti puasa, shalat berjamaah, dzikir, sedekah, membaca dan mengkaji Alquran, bangun malam, serta memperbanyak amalan sunat. Semangat untuk taat selama Ramadhan tetap dikobarkan setelah itu.

Dengan itulah kita menunjukkan sikap ingin meninggalkan segala kekurangan dan kekhilafan terdahulu untuk memulai hari baru. Hari-hari yang lebih efektif dan lebih bersih tentu dibanding hari-hari terdahulu sebelum Ramadhan. Hal tersebut membuka kesadaran kita bahwa esok adalah hari baru yang harus disambut dengan sikap yang baru pula. Selamat Idul Fitri 1434 H. Taqabballahu minna wa minkum. Kullu ‘am wa antum bi khair.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar