MERAYAKAN LEBARAN
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu
dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Ali-‘Imran [3]: 133)
Awal Ramadhan lalu,
teman saya pernah melontarkan lelucon begini: bedanya “sepuluh malam pertama”
dan “sepuluh malam terakhir” Ramadhan terletak pada tempat sasaran masyarakat.
Jika sepuluh malam pertama adalah masjid yang dipenuhi jamaah, maka di sepuluh
malam terakhir pasar tradisional dan mal-mal yang penuh sesak oleh “jamaah”
pembeli pakaian Lebaran.
Lelucon ini memang ada
benarnya. Jika tak percaya, coba perhatikan suasana tarawih menjelang Lebaran,
lalu bandingkan dengan suasana di pasar dan mal-mal. Berbeda jauh. Di masjid,
shaf yang semula tumpah ruah hingga ke pelataran masjid, namun menginjak
detik-detik akhir Ramadhan hanya tersisa dua-tiga shaf di belakang imam. Mereka
pindah ke pasar tradisional dan mal-mal. Mereka rela antre guna mempersiapkan
beragam kebutuhan Lebaran: ragam makanan Lebaran, pakaian dan aksesorisnya,
hingga barang-barang elektronik yang biasanya serba baru. Lainnya, sibuk
berkemas mudik ke kampung halaman.
Khusus di Indonesia,
seperti biasanya Lebaran menjadi hajatan besar tahunan negeri berpenduduk
mayoritas muslim ini. Demi merayakannya, setiap orang bersibuk-sibuk ria
mempersiapkan segala sesuatunya: aneka menu Lebaran, pakaian, perabot rumah
tangga, bahkan penampilan yang serba baru. Juga tak lupa persiapan uang recehan
untuk hadiah sanak famili di kampung halaman. Lebaran pun disambut dengan penuh
kegembiraan.
Lantas, apa yang begitu
tampak dari tradisi Lebaran kini? Tidak hanya sebuah tradisi religius, momentum
hari suka cita bagi setiap muslim, tapi juga cermin budaya konsumerisme –yang
biasanya selalu terkait dengan sikap mubazir– kita yang meninggi, yang justru
ingin diminimalisir melalui ibadah puasa. Meminjam bahasa iklan, sepertinya
“sudah tradisi” jika demi menyambut Lebaran, kadang sebagian kita tak
segan-segan membeli barang-barang baru demi pemenuhan kebutuhan yang kadang
artifisial itu: sikap yang berlebih-lebihan.
Jika puasa yang baru
saja lewat itu diyakini menjadi bulan untuk melatih diri menahan hawa nafsu,
mengapa tradisi lebaran memberi fakta yang sebaliknya? Lalu, masihkah kita
yakin puasa kali ini punya hasil konkret mengubah hidup kita? Jangan-jangan
suka cita kita merayakan Lebaran bukan karena telah meraih kemenangan, tapi
karena merasa sudah terbebas dari ‘belenggu’ Ramadhan? Na’udzubillah!
Kembali Fitrah Setelah Puasa
Ramadhan telah berlalu. Bulan yang
penuh berkah, rahmat, dan ampunan itu telah meninggalkan kita. Pintu-pintu
neraka dibuka kembali. Setan-setan pun dilepaskan dari belenggunya. Seiring
dengan itu, kemuliaan-kemuliaan pahala amalan yang berlipat ganda dicabut
kembali. Masalahnya, apakah kita telah kembali fitrah setelah berpuasa sebulan
penuh? Pertanyaan ini bukan sekedar retoris belaka. Pertanyaan tersebut
sejatinya adalah refleksi dari puasa yang telah kita tunaikan. Ada kemungkinan
di antara kita ada yang tidak lulus dalam ujian di Madrasah Ramadhan itu,
sebagaimana disinyalir dalam sabda Rasulullah SAW:
“Berapa banyak orang yang
berpuasa, namun tidak didapatkan dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga.
Dan berapa banyak orang yang shalat malam, namun hasil yang diperolehnya
hanyalah berjaga malam.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Thabrani)
Sejatinya, orang yang menunaikan
puasa secara benar selama bulan Ramadhan akan terlahir kembali seperti bayi
yang tidak berdosa. Kembali pada fitrahnya. Hal itu karena Allah SWT mengampuni
dosa-dosanya yang telah lalu; ia keluar dari dosanya seperti hari ketika ia
dilahirkan oleh ibunya. Dari sinilah, barangkali, kita sering mendengar orang
saling mengucapkan: “Minal ‘aidin wal faidzin.” Semoga kita termasuk
orang-orang yang dikembalikan oleh Allah (pada posisi nol) dan orang-orang yang
beruntung.
Puasa Ramadhan dan serangkaian
aktivitas Ramadhan sebenarnya telah mengondisikan dan melatih kita untuk
menyadari dan memahami fitrah kita. Kita sudah dikondisikan dan dilatih untuk
menetapi fitrah. Ramadhan itu telah menjadi ajang untuk menempa diri dan
melebur dosa yang mengharuskan seorang muslim lebih merasakan dan memahami
fitrahnya. Fitrah itu akan berkembang dan menjadikan dirinya selalu siap
menerima kebenaran. Puasa akan menjadikan ia lebih merasakan dan memahami dirinya
sebagai makhluk yang diliputi keserbalemahan dan keterbatasan. Dengan begitu,
ia akan lebih merasa membutuhkan Penciptanya dan membutuhkan petunjuk dari-Nya.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus pada agama (Allah): (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Tidak ada
perubahan pada fitrah allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Ruum [30]: 30)
Dalam Tafsir al-Qurthubi
jilid XIV, Imam al-Qurthubi mengutip gurunya, Abu Abbas, menyatakan ayat
tersebut mengungkapkan bahwa Allah SWT telah menciptakan kalbu (akal) anak Adam
siap sedia menerima kebenaran sebagaimana mata diciptakan siap untuk melihat dan
telinga siap untuk mendengar. Selama kalbu anak Adam tetap dalam fitrahnya itu,
maka ia akan mengenali kebenaran.
Sementara menurut Ibn al-Atsir,
fitrah itu tidak lain adalah karakteristik penciptaan manusia dan potensi
kemanusiaan yang siap untuk menerima agama. Karena itu, Imam Zamakhsyari
mengatakan bahwa fitrah itu menjadikan manusia siap sedia setiap saat menerima
kebenaran dengan penuh sukarela, tanpa paksaan, alami, wajar, dan tanpa beban.
Dengan demikian, kembali pada fitrah adalah dengan menjalankan perintah Sang
Khaliq dengan menetapi fitrah, yakni menetapi karakteristik penciptaan manusia
dan potensi insaniah untuk siap menerima kebenaran. Jadi, kembali pada fitrah
tidak lain adalah dengan terus mengembangkan potensi manusia untuk selalu siap
setiap saat menerima kebenaran.
Agar Lebaran Lebih Bermakna
Segera setelah azan
Maghrib berkumandang di malam Lebaran, gemuruh takbir terdengar di. Tanda hari
kemenangan telah tiba. Wajah-wajah yang terseok kelelahan segera berganti
dengan mata yang berbinar-binar karena kembali ke kampung halaman. Tradisi yang
istimewa di negeri ini, Lebaran dijadikan sebagai hari khusus silaturahim:
halal bihalal. Setiap rumah (juga hati) terbuka lebar. Sanak famili, karib
kerabat, tetangga, dan kenalan saling mengunjungi. Orang-orang yang
berpas-pasan mengobral senyum. Mereka bersalaman. Juga istimewa, banyaknya
orang yang berziarah ke kuburan; lalu menabur bunga dan mengucapkan doa
sebisanya. Begitulah warna-warni Lebaran. Namun, ada hal penting yang patut
diperhatikan: mungkinkah kita bisa menjadikan Lebaran lebih bermakna?
“Idul Fitri bukanlah
diperuntukkan bagi orang yang mengenakan sesuatu yang serba baru, tetapi
dipersembahkan bagi orang yang ketaatannya bertambah.” Begitu pepatah Arab
menyebutkan. Mahasuci Allah yang telah mensyariatkan Hari Raya Idul Fitri
sebagai hari penuh kebahagiaan. Wajar jika kita bergembira pada hari raya
tersebut. Namun, kegembiraan itu bukan karena pesta atau hiburan. Bukan pula
karena telah bebas dari kungkungan puasa. Kegembiraan itu tidak lain karena
kita telah berhasil menunaikan salah satu kewajiban dan bersiap untuk
menunaikan kewajiban-kewajiban lainnya.
Dalam Al-Baqarah
ayat 183, Allah telah menegaskan bahwa orang yang menunaikan puasa dengan benar
sejatinya menjadi orang yang bertakwa, yakni orang yang memelihara dirinya dari
kemaksiatan sebab puasa itu mematahkan syahwat sebagai pangkal kemaksiatan.
Karena itu, Lebaran harus dipandang sebagai kelahiran kembali orang-orang yang
mendapatkan ampunan dari Dia Yang Maha Pengampun dan menjelma menjadi orang
yang bertakwa. Lebaran bukanlah akhir dari ketaatan, melainkan awal dari
ketaatan baru. Makanya, lebaran akan terasa lebih bermakna hanya jika kita
menampakkan ketakwaan tersebut dalam aktivitas sehari-hari. Tanpa ketakwaan,
Lebaran hanyalah sebuah kehampaan.
Bentuk aktivitas yang
lahir dari ketakwaan dan akan menjadikan Lebaran lebih bermakna adalah menjadi
lebih taat kepada Allah ‘Azza wa jalla. “Celakalah orang yang hari ini lebih
buruk daripada hari kemarin,” begitu sabda Nabi SAW. Sebaliknya, beruntunglah
orang yang hari ini lebih baik daripada hari kemarin. Karena itu, orang yang
memahami hal ini akan menjadi lebih taat dengan ketakwaan yang baru setelah
Ramadhan untuk meraih ampunan dan surga-Nya dengan memelihara amalan-amalan
rutin Ramadhan, seperti puasa, shalat berjamaah, dzikir, sedekah, membaca dan
mengkaji Alquran, bangun malam, serta memperbanyak amalan sunat. Semangat untuk
taat selama Ramadhan tetap dikobarkan setelah itu.
Dengan itulah kita
menunjukkan sikap ingin meninggalkan segala kekurangan dan kekhilafan terdahulu
untuk memulai hari baru. Hari-hari yang lebih efektif dan lebih bersih tentu
dibanding hari-hari terdahulu sebelum Ramadhan. Hal tersebut membuka kesadaran
kita bahwa esok adalah hari baru yang harus disambut dengan sikap yang baru
pula. Selamat Idul Fitri 1434 H. Taqabballahu minna wa minkum. Kullu ‘am wa
antum bi khair.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar