PENCARI MANFAAT (تستفيد باحث)
Rabu, 07 Agustus 2013
NASEHAT MENJELANG IDUL FITRI
NASEHAT MENJELANG IDUL FITRI
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى(14) وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ
فَصَلَّى(15) بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا(16) وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ
وَأَبْقَى(17) (الاعلى:14-17)
Artinya: “Sungguh beruntunglah orang yang mensucikan
diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia mengerjakan
shalat. Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang
kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal” (QS. Al-A’la: 14-27).
Dari Ibnu Mas`ud ra., bahwa Nabi SAW
bersabda: “Apabila mereka itu berpuasa bulan Ramadhan dan keluar untuk
menunaikan Shalat ‘Id (shalat hari raya), maka Allah Ta`ala berfirman:
“Hai para malaikat Ku, tiap-tiap orang yang beramal akan mendapatkan upahnya;
dan para hamba-Ku yang berpuasa pada bulan Ramadhan dan keluar menunaikan Shalat
‘Id ,juga mengharapkan pahalanya. Maka oleh karena itu saksikanlah, bahwa
sesungguhnya Aku telah mengampuni mereka”.
Banyak orang yang salah kaprah dalam
menyikapi Idul-Fithri. Secara lahiriah seolah-olah hari raya adalah pesta pora,
bersenang-senang bahkan berpoya-poya. Lebaran Idul-Fithri dilakukan
dengan “lebar kabeh”, yakni habis semuanya, menghambur-hamburkan uang
dan menghambur-hamburkan waktu untuk bersenang-senang. Padahal tidaklah
demikian cara umat Islam dalam merayakan Idul-Fithri. Dari Wahab bin Munabbib
bahwa Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Raja Iblis berteriak-teriak marah ketika
hari raya Idul-Fithri, hingga suaranya memenuhi seantero langit dan bumi.
Mendengar teriakan itu seluruh pengikut dan kawan si Raja Iblis berkumpul,
mereka bertanya: “Wahai baginda, siapa yang telah membuat anda marah?, akan
kami musnahkan ia”. Si Raja Iblis menjawab: “bukan apa-apa, akan tetapi
Allah Ta’ala telah mengampuni umat Islam pada hari Idul-Fithri ini, sehingga
aku sangat jengkel dan bingung”. Kemudian Raja Iblis menugaskan kepada
seluruh pengikutnya: “Wahai pengikutku, tugas kalian semua adalah membuat
umat Muhammad lalai kembali, goda mereka dengan berbagai kelezatan, kenikmatan
syahwat, terlena dengan kegembiraan dan bahkan minuman keras sehingga Allah
akan murka lagi dengan mereka”. Jadi apabila kita berlebaran dengan
kesia-siaan, terlena, melupakan ibadah dan berfoya-foya maka justeru Iblis yang
berlebaran. Coba kita renungkan kelalaian kita, salah satu contohnya, banyak
orang yang berbondong-bondong mendatangi shalat sunah Idul-Fithri, namun
melupakan shalat wajib lima waktu. Padaha tidak ikut serta dalam shalat ‘Id
tidaklah berdosa, sedangkan tidak ikut serta shalat lima waktu sekali saja sama
seperti kehilangan langit dan bumi dan seiisinya.
Pada hari raya Idul-Fithri kita
memang mesti bahagia karena pada hari itu umat Islam mendapatkan ampunan dari
Allah Ta’ala. Untuk merayakannya kita dianjurkan oleh Nabi SAW untuk memakai
baju baru, saling berkunjung maaf-memaafkan, bahkan boleh (atau jaiz)
menghidangkan makanan atau kue kepada saudara muslim yang datang berkunjung.
Tetapi kita juga harus bersedih di hari raya Idul Fithri jika ternyata kita
belum mendapatkan ampunan dari Allah. Ada beberapa golongan manusia yang tidak
akan mendapatkan ampunan pada hari raya Idul-Fithri, yakni antara lain: (1)
Orang yang memelalaikan shalat lima waktu; (2) Orang yang tidak berpuasa pada bulan
Ramadhan; (3) Orang yang tidak menunaikan zakat; (4) Orang yang meminum khamer
(minuman keras); (5) Orang yang durhaka dan belum berbakti kepada kedua orang
tua; (8) Orang yang memutuskan tali silaturahmi dan suka bermusuhan; (9) Orang
yang enggan memaafkan; dan (10) Orang yang ucapan dan tingkah lakunya suka
menyakiti orang lain. Jika kita termasuk diantara kesepuluh golongan tersebut
maka kita seharusnya bersedih dan meraung menangis pada hari raya Idul-Fithri.
Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ جِبْرَئِيْلَ عَرَضَ لِى فَقَالَ: بَعُدَ مَنْ اَدْرَكَ
رَمَضَانَ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ, قُلْتُ: آمِيْنَ.
Artinya: “Sesungguhnya Jibril
telah datang kepadaku lalu berkata: “Celakalah orang yang melewatkan Ramadhan
begitu saja, sedangkan dosanya belum diampuni”, aku kemudian mengatakan: “Aamiin”
(HR. Al-Bukhari, Al-Hakim, dan Ath-Thabrani).
Bagi kita, yang paling penting
adalah menghayati makna Idul-Fithri. Pada dasarnya Idul-Fithri berarti “kembali
kepada kesucian” dan “syawal” artinya “peningkatkan”. Jadi
makna Idul-Fithri pada bula Syawal ini adalah kembali pada kesucian dengan
disertai upaya meningkatkan ketakwaan, ibadah dan amal shaleh. Sebagaimana yang
digambarkan dalam salah satu ungkapan utama:
لَيْسَ عِيْدُ لِمَنْ لُبْسُهُ الْجَدِيْدُ, بَلْ عِيْدُ
لِمَنْ تَقْوَـهُ الْيَزِيْدُ
Artinya: “Bukanlah hari raya itu
untuk orang yang berpakaian baru, tetapi sebenarnya hari raya itu untuk orang
yang bertambah ketakwaaannya”.
Untuk memahami hakikat makna
Idul-Fithri mari kita renungkan
perkataan Anas bin Malik, beliau mengungkapkan bahwa orang yang beriman itu
mempunyai lima hari raya, yakni:
1. Tiap-tiap
hari yang dilalui orang yang beriman dan tidak dicatat baginya satu dosa pun,
maka hari itu adalah hari raya.
2. Hari
ketika seorang mukmin keluar dari dunia, yakni ketika mati dengan berbekal
iman, dan amal shaleh, maka hari itu adalah hari raya.
3. Hari
ketika seorang mukmin menyeberang Shirathal
Mustaqim dan dia selamat, maka itu adalah hari raya.
4. Hari
ketika seorang mukmin masuk kedalam sorga dan selamat dari neraka jahim, maka
itu adalah hari raya.
5. Hari
ketika seorang mukmin bisa melihat Tuhannya, maka itu adalah hari raya. (dari
Kitab Tabîhul Ghafilîn).
Bagi orang yang berakal hendaknya
bisa menahan dirinya pada hari raya dari segala macam nafsu-syahwat dan dari
semua yang dilarang, bahkan supaya selalu taat. Oleh karena itu Nabi SAW
bersabda: “Bersungguh-sungguhlah kamu sekalian berhari raya idul fitri dengan
bersedekah dan amalan-amalan yang baik, yakni dengan shalat, zakat, bertasbih,
dan tahlil, karena sesungguhnya hari ini Allah ta`ala mengampuni semua dosa
kamu sekalian, mengabulkan do`a kalian dan melihat kamu sekalian dengan kasih
sayang”.
Mensucikan Diri
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى , “Sungguh
beruntunglah orang yang mensucikan diri”
Ayat
tersebut akan menjadi pusat kajian kita pada bagian ini. Untuk meniindak
lanjuti hari raya Idul Fithri kita mesti senantiasa mensucikan diri.
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-A’la ayat 14-17 yang telah disebutkan
diawal. Bahwa sungguh beruntung orang-orang yang senantiasa mensucikan dirinya.
Yakni orang-orang yang senantiasa menyebut asma Allah, senantiasa mendirikan
shalat, mampu menahan diri di dunia dan senantiasa merindukan kehidupan
akherat.
Ada banyak penafsiran terhadap kalimat “qad
aflaha man tazakkâ”, “Sungguh beruntunglah orang yang
mensucikan diri”. Antara lain yang dimaksud orang yang mensucikan diri adalah:
(1) Orang yang meninggalkan kecintaan pada dunia; (2) Orang yang banyak
mengingat Allah; (3) Orang yang sabar terhadap musibah; (4) Orang yang berbakti
kepada kedua orang tua; (5) Orang yang meninggalkan perbuatan aniaya dan
sia-sia; (6) Orang yang meninggalkan ghibah; (7) Orang yang menunaikan zakat;
(8) Orang yang senantiasa dituntun oleh Al-Qur’an; (9) Orang yang beramal
dengan ikhlas dan (10) Orang yang menahan diri dari hawa nafsu.
Sabtu, 03 Agustus 2013
MERAYAKAN LEBARAN
MERAYAKAN LEBARAN
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu
dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Ali-‘Imran [3]: 133)
Awal Ramadhan lalu,
teman saya pernah melontarkan lelucon begini: bedanya “sepuluh malam pertama”
dan “sepuluh malam terakhir” Ramadhan terletak pada tempat sasaran masyarakat.
Jika sepuluh malam pertama adalah masjid yang dipenuhi jamaah, maka di sepuluh
malam terakhir pasar tradisional dan mal-mal yang penuh sesak oleh “jamaah”
pembeli pakaian Lebaran.
Lelucon ini memang ada
benarnya. Jika tak percaya, coba perhatikan suasana tarawih menjelang Lebaran,
lalu bandingkan dengan suasana di pasar dan mal-mal. Berbeda jauh. Di masjid,
shaf yang semula tumpah ruah hingga ke pelataran masjid, namun menginjak
detik-detik akhir Ramadhan hanya tersisa dua-tiga shaf di belakang imam. Mereka
pindah ke pasar tradisional dan mal-mal. Mereka rela antre guna mempersiapkan
beragam kebutuhan Lebaran: ragam makanan Lebaran, pakaian dan aksesorisnya,
hingga barang-barang elektronik yang biasanya serba baru. Lainnya, sibuk
berkemas mudik ke kampung halaman.
Khusus di Indonesia,
seperti biasanya Lebaran menjadi hajatan besar tahunan negeri berpenduduk
mayoritas muslim ini. Demi merayakannya, setiap orang bersibuk-sibuk ria
mempersiapkan segala sesuatunya: aneka menu Lebaran, pakaian, perabot rumah
tangga, bahkan penampilan yang serba baru. Juga tak lupa persiapan uang recehan
untuk hadiah sanak famili di kampung halaman. Lebaran pun disambut dengan penuh
kegembiraan.
Lantas, apa yang begitu
tampak dari tradisi Lebaran kini? Tidak hanya sebuah tradisi religius, momentum
hari suka cita bagi setiap muslim, tapi juga cermin budaya konsumerisme –yang
biasanya selalu terkait dengan sikap mubazir– kita yang meninggi, yang justru
ingin diminimalisir melalui ibadah puasa. Meminjam bahasa iklan, sepertinya
“sudah tradisi” jika demi menyambut Lebaran, kadang sebagian kita tak
segan-segan membeli barang-barang baru demi pemenuhan kebutuhan yang kadang
artifisial itu: sikap yang berlebih-lebihan.
Jika puasa yang baru
saja lewat itu diyakini menjadi bulan untuk melatih diri menahan hawa nafsu,
mengapa tradisi lebaran memberi fakta yang sebaliknya? Lalu, masihkah kita
yakin puasa kali ini punya hasil konkret mengubah hidup kita? Jangan-jangan
suka cita kita merayakan Lebaran bukan karena telah meraih kemenangan, tapi
karena merasa sudah terbebas dari ‘belenggu’ Ramadhan? Na’udzubillah!
Kembali Fitrah Setelah Puasa
Ramadhan telah berlalu. Bulan yang
penuh berkah, rahmat, dan ampunan itu telah meninggalkan kita. Pintu-pintu
neraka dibuka kembali. Setan-setan pun dilepaskan dari belenggunya. Seiring
dengan itu, kemuliaan-kemuliaan pahala amalan yang berlipat ganda dicabut
kembali. Masalahnya, apakah kita telah kembali fitrah setelah berpuasa sebulan
penuh? Pertanyaan ini bukan sekedar retoris belaka. Pertanyaan tersebut
sejatinya adalah refleksi dari puasa yang telah kita tunaikan. Ada kemungkinan
di antara kita ada yang tidak lulus dalam ujian di Madrasah Ramadhan itu,
sebagaimana disinyalir dalam sabda Rasulullah SAW:
“Berapa banyak orang yang
berpuasa, namun tidak didapatkan dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga.
Dan berapa banyak orang yang shalat malam, namun hasil yang diperolehnya
hanyalah berjaga malam.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Thabrani)
Sejatinya, orang yang menunaikan
puasa secara benar selama bulan Ramadhan akan terlahir kembali seperti bayi
yang tidak berdosa. Kembali pada fitrahnya. Hal itu karena Allah SWT mengampuni
dosa-dosanya yang telah lalu; ia keluar dari dosanya seperti hari ketika ia
dilahirkan oleh ibunya. Dari sinilah, barangkali, kita sering mendengar orang
saling mengucapkan: “Minal ‘aidin wal faidzin.” Semoga kita termasuk
orang-orang yang dikembalikan oleh Allah (pada posisi nol) dan orang-orang yang
beruntung.
Puasa Ramadhan dan serangkaian
aktivitas Ramadhan sebenarnya telah mengondisikan dan melatih kita untuk
menyadari dan memahami fitrah kita. Kita sudah dikondisikan dan dilatih untuk
menetapi fitrah. Ramadhan itu telah menjadi ajang untuk menempa diri dan
melebur dosa yang mengharuskan seorang muslim lebih merasakan dan memahami
fitrahnya. Fitrah itu akan berkembang dan menjadikan dirinya selalu siap
menerima kebenaran. Puasa akan menjadikan ia lebih merasakan dan memahami dirinya
sebagai makhluk yang diliputi keserbalemahan dan keterbatasan. Dengan begitu,
ia akan lebih merasa membutuhkan Penciptanya dan membutuhkan petunjuk dari-Nya.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus pada agama (Allah): (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Tidak ada
perubahan pada fitrah allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Ruum [30]: 30)
Dalam Tafsir al-Qurthubi
jilid XIV, Imam al-Qurthubi mengutip gurunya, Abu Abbas, menyatakan ayat
tersebut mengungkapkan bahwa Allah SWT telah menciptakan kalbu (akal) anak Adam
siap sedia menerima kebenaran sebagaimana mata diciptakan siap untuk melihat dan
telinga siap untuk mendengar. Selama kalbu anak Adam tetap dalam fitrahnya itu,
maka ia akan mengenali kebenaran.
Sementara menurut Ibn al-Atsir,
fitrah itu tidak lain adalah karakteristik penciptaan manusia dan potensi
kemanusiaan yang siap untuk menerima agama. Karena itu, Imam Zamakhsyari
mengatakan bahwa fitrah itu menjadikan manusia siap sedia setiap saat menerima
kebenaran dengan penuh sukarela, tanpa paksaan, alami, wajar, dan tanpa beban.
Dengan demikian, kembali pada fitrah adalah dengan menjalankan perintah Sang
Khaliq dengan menetapi fitrah, yakni menetapi karakteristik penciptaan manusia
dan potensi insaniah untuk siap menerima kebenaran. Jadi, kembali pada fitrah
tidak lain adalah dengan terus mengembangkan potensi manusia untuk selalu siap
setiap saat menerima kebenaran.
Agar Lebaran Lebih Bermakna
Segera setelah azan
Maghrib berkumandang di malam Lebaran, gemuruh takbir terdengar di. Tanda hari
kemenangan telah tiba. Wajah-wajah yang terseok kelelahan segera berganti
dengan mata yang berbinar-binar karena kembali ke kampung halaman. Tradisi yang
istimewa di negeri ini, Lebaran dijadikan sebagai hari khusus silaturahim:
halal bihalal. Setiap rumah (juga hati) terbuka lebar. Sanak famili, karib
kerabat, tetangga, dan kenalan saling mengunjungi. Orang-orang yang
berpas-pasan mengobral senyum. Mereka bersalaman. Juga istimewa, banyaknya
orang yang berziarah ke kuburan; lalu menabur bunga dan mengucapkan doa
sebisanya. Begitulah warna-warni Lebaran. Namun, ada hal penting yang patut
diperhatikan: mungkinkah kita bisa menjadikan Lebaran lebih bermakna?
“Idul Fitri bukanlah
diperuntukkan bagi orang yang mengenakan sesuatu yang serba baru, tetapi
dipersembahkan bagi orang yang ketaatannya bertambah.” Begitu pepatah Arab
menyebutkan. Mahasuci Allah yang telah mensyariatkan Hari Raya Idul Fitri
sebagai hari penuh kebahagiaan. Wajar jika kita bergembira pada hari raya
tersebut. Namun, kegembiraan itu bukan karena pesta atau hiburan. Bukan pula
karena telah bebas dari kungkungan puasa. Kegembiraan itu tidak lain karena
kita telah berhasil menunaikan salah satu kewajiban dan bersiap untuk
menunaikan kewajiban-kewajiban lainnya.
Dalam Al-Baqarah
ayat 183, Allah telah menegaskan bahwa orang yang menunaikan puasa dengan benar
sejatinya menjadi orang yang bertakwa, yakni orang yang memelihara dirinya dari
kemaksiatan sebab puasa itu mematahkan syahwat sebagai pangkal kemaksiatan.
Karena itu, Lebaran harus dipandang sebagai kelahiran kembali orang-orang yang
mendapatkan ampunan dari Dia Yang Maha Pengampun dan menjelma menjadi orang
yang bertakwa. Lebaran bukanlah akhir dari ketaatan, melainkan awal dari
ketaatan baru. Makanya, lebaran akan terasa lebih bermakna hanya jika kita
menampakkan ketakwaan tersebut dalam aktivitas sehari-hari. Tanpa ketakwaan,
Lebaran hanyalah sebuah kehampaan.
Bentuk aktivitas yang
lahir dari ketakwaan dan akan menjadikan Lebaran lebih bermakna adalah menjadi
lebih taat kepada Allah ‘Azza wa jalla. “Celakalah orang yang hari ini lebih
buruk daripada hari kemarin,” begitu sabda Nabi SAW. Sebaliknya, beruntunglah
orang yang hari ini lebih baik daripada hari kemarin. Karena itu, orang yang
memahami hal ini akan menjadi lebih taat dengan ketakwaan yang baru setelah
Ramadhan untuk meraih ampunan dan surga-Nya dengan memelihara amalan-amalan
rutin Ramadhan, seperti puasa, shalat berjamaah, dzikir, sedekah, membaca dan
mengkaji Alquran, bangun malam, serta memperbanyak amalan sunat. Semangat untuk
taat selama Ramadhan tetap dikobarkan setelah itu.
Dengan itulah kita
menunjukkan sikap ingin meninggalkan segala kekurangan dan kekhilafan terdahulu
untuk memulai hari baru. Hari-hari yang lebih efektif dan lebih bersih tentu
dibanding hari-hari terdahulu sebelum Ramadhan. Hal tersebut membuka kesadaran
kita bahwa esok adalah hari baru yang harus disambut dengan sikap yang baru
pula. Selamat Idul Fitri 1434 H. Taqabballahu minna wa minkum. Kullu ‘am wa
antum bi khair.
Langganan:
Postingan (Atom)